
Pembiayaan sangat dibutuhkan untuk mendukung permodalan dan pengembangan
sektor riel. Meskipun hal ini telah dirasakan fungsinya di Indonesia
terutama dalam konsep perbankan, baik yang berbentuk konvensional maupun
syariah. Namun sayangnya dalam praktiknya di lapangan belum menyentuh
sektor Usaha Mikro Kecil (UMK), mulai dari pedagang kaki lima hingga
pedagang-pedagang yang berada di pasar tradisional. Hal ini disebabkan
oleh keterbatasan jenis usaha, aset dan pola administrasi usaha yang
dimiliki oleh pelaku usaha pada sektor UMK. Padahal jika diperhatikan
secara seksama sebenarnya secara keseluruhan prosentase UMK jauh lebih
besar dari usaha-usaha menengah dan besar di pasar Indonesia; dan
merupakan potensi besar dalam perekonomian yang jika dapat dikelola dan
dikembangkan dengan baik tentu akan menguatkan sektor riel dan
menggerakan perekonomian Indonesia yang nantinya berujung pada
berkurangnya kemiskinan dan meningkatnya kwalitas hidup masyarakat.
Keterbatasan terhadap akses sumber-sumber pembiayaan yang dihadapi oleh
pelaku Usaha Mikro Kecil (UMK) terutama dari lembaga-lembaga keuangan
formal seperti perbankan disebabkan karena bank memandang bahwa UMK
tidak bankable (tidak layak –pen). Kondisi ini menyebabkan para pelaku
usaha mikro kecil terpaksa bergantung pada sumber-sumber pembiayaan
informal, mulai dari, rentenir, unit-unit simpan pinjam, koperasi, bank
gelap dan bentuk-bentuk yang lain.
Untuk itu diperlukan lembaga keuangan yang fleksibel, baik dalam hal
persyaratan, jumlah pinjaman minimal dan mekanisme pencairan kredit yang
tidak serumit yang diharuskan oleh perbankan. Nah, salah satu jawaban
dari permasalahan ini adalah Baitul Mal wat Tamwil (BMT) atau yang lazim
disebut sebagai Lembaga Keuangan Mikro Syariah.
Konsep Baitul Maal wat Tamwil sendiri bukanlah hal yang baru dalam
khasanah Islam. Pada fase awal Islam, terutama era kekhalifahan Umar bin
Khattab, Baitul Maal sudah membiayai sarana dan prasarana umum, seperti
pembangunan jalan raya, jembatan dan irigasi pertanian. Seperti yang
dijelaskan oleh Agustianto, bahwa konsep BMT di Indonesia sudah bergulir
lebih satu dekade. Konsep ini telah banyak mengalami
pembuktian-pembuktian dalam ‘mengatasi’ dan mengurangi kemiskinan. Peran
lembaga ini untuk mengurangi angka kemiskinan sangat strategis,
mengingat lembaga perbankan belum mampu menyentuh masyarakat akar rumput
(fakir, miskin dan kaum dhu’afa lainnya). Akses mereka terhadap
perbankan sangat kecil, bahkan hampir tak ada sama sekali. Mereka juga
tidak punya agunan dan tidak pandai membuat proposal.
Dalam kegiatan bisnisnya Baitul Maal wat Tamwil (BMT) memberikan
pembiayaan dengan prinsip syariah. Prinsip syariah itu sendiri adalah
aturan/perjanjian bisnis yang berdasarkan hukum Islam antara satu pihak
dengan pihak lainnya untuk penyimpanan dan/atau pembiayaan kegiatan
usaha lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain
pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan
berdasarkan penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang
dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal
berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah) atau dengan
pilihan pemindah kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank
oleh pihak lain (ijarah wa iqtiqna),”.
Berbeda dengan perbankan, selain menerapkan persyaratan administratif
yang relatif lebih mudah, produk jasa keuangan BMT dinilai lebih beragam
dan mampu menjangkau sektor mikro kecil dengan skala pinjaman yang
rendah di bawah Rp. 2 juta, bahkan pada skala pinjaman yang hanya dalam
besaran ratusan ribu saja yang umumnya dipandang tidak menarik bagi
bank.
Sesuai dengan namanya, kegiatan ekonomi Baitul Maal wat Tamwil tidak
melulu dalam kegiatan bisnis (at-Tamwil) saja, namun berperan juga dalam
kegiatan sosial (Baitul Maal). Kegiatan sosial ekonomi BMT dilakukan
dengan gerakan zakat, infaq sedeqah dan waqaf. Hal ini merupakan
keunggulan BMT dibandingkan yang lain. Dengan menggunakan dana ZISWAF
ini, BMT memberikan pinjaman kebajikan (qardhul hasan). Qardhul hasan
sendiri pada prinsipnya adalah pinjaman yang baik yang diberikan kepada
yang tidak mampu atau yang terlilit banyak hutang dengan tujuan untuk
usaha. Sehingga dana ini tidak perlu membutuhkan jaminan dan tidak boleh
memberikan imbalan/manfaat atas pinjaman dana tersebut.
Kemudahan akses dan prinsip syariah inilah yang menjadikan BMT lebih
unggul daripada lembaga perbankan dan dapat menjadi solusi bagi sulitnya
masalah pendanaan bagi pelaku usaha mikro kecil. Diharapkan dengan
adanya BMT sektor Usaha Mikro Kecil dapat terus berkembang, sehingga
akan terbuka banyak lapangan kerja yang akan berujung pada berkurangnya
kemiskinan dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Wallahu A'lam Bishawab [Muhammad Arya Kurniawan]